Aku mengunci pintu di malam ketika angin dingin datang membawakan kabar yang membuat hatiku benar-benar terkapar. Kabar kematian barbar yang bukan berasal dari peperangan. Namun dari sebuah tempat di mana orang-orang sedang bercengkerama dengan Tuhan. Lewat doa-doa yang dipanjatkan.
Langit Aotearoa menguarkan bau anyir darah dari orang-orang yang pasrah direnggut nyawanya. Dalam kedukaannya yang mendalam, semenanjung Coromandel menyampaikan rasa belasungkawa. Dengan menghentikan jilatan gelombang pada gugusan karang teluk Hauraki. Mengheningkan cipta bagi para martir yang pergi.
Jika ada kata lebih dari durjana, mungkin sebaiknya disematkan kepada para pelancong sejarah yang mengagungkan supremasi. Dari orang-orang yang mengaku diciptakan Tuhan lebih sempurna dari orang-orang lainnya yang hanya boleh disebut sebagai anak tiri.
Mereka mengira dunia ada di telapak kaki mereka. Mereka lupa bahwa manusia membunuh manusia tanpa daya adalah seburuk-buruknya cela. Jauh lebih hina dibanding hyena yang meliuri bangkai busuk. Untuk jamuan makan siang yang buruk.
Sementara para Syuhada menghadap Tuhannya dengan kuburan beraroma wangi bunga. Para pembunuh itu menyudahi keliaran di mata mereka dengan penyesalan tak terkira. Mereka telah menjadi jagal. Bagi sebuah kejahatan kemanusiaan yang brutal.
Inilah salah satu episode di mana manusia gagal menjadi manusia. Namun berhasil menunjukkan jati diri sebenarnya sebagai pemangsa.
Bogor, 16 Maret 2019
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI