Ingatan akan musim semi, membuat tanah-tanah yang dibekap kebekuan kembali dialiri hangatnya harapan. Daun-daun yang tergantung kaku, mulai melepas salju dari tubuhnya yang kelu. Sudah sekian lama para penghuni bumi berhibernasi. Memperbaiki ricuhnya hati.
Ingatan akan musim panas, menjadikan hujan sedikit tergesa-gesa. Terlalu lama mendiami daratan dengan genangan, membuatnya menjadi tersangka dengan tuduhan mengada-ada. Sisa-sisa banjir dan puing reruntuhan, diibaratkan monumen perang. Padahal itu semua hanya cuaca yang dikambing hitamkan.
Orang-orang menggali lagi mimpi-mimpi yang semula dikuburkan. Membuat upacara baru kebangkitan. Dari remah-remah semangat yang berhasil dikumpulkan. Di sela-sela pergantian musim. Di antara kelahiran kembali kebaikan-kebaikan yang anonim.
Langit berjuang sekuat tenaga mendapatkan birunya. Laut menyingsingkan gelombang kecil agar bisa kembali menjadi tujuan dari asa nelayan yang tertunda. Gunung-gunung menampakkan diri apa adanya. Sedangkan desa dan kota mencabut segala permusuhan abadi tentang cerita urban yang pahitnya melegenda.
Musim memanglah raja. Dari kerajaan yang berdiri atas nama jeda dan masa.
Di mana keburukan dan kemuliaan adalah neraca hitam putih yang biasa.
Di dalam sebuah hukum sebab akibat yang sederhana.
Jakarta, 13 Maret 2019
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI