Apabila senja menjadi terlalu sederhana untuk dijadikan kata-kata. Biarlah aku memunguti percikan sisa cahaya. Dari matahari yang sedari tadi berlalu semenjak warna tembaga mengambil alih separuh dunia.
Pada sebuah tempat yang mampat. Di sudut sempit yang tak biasa disapa. Bumi melahirkan kata-kata dari begitu banyak ibunda;
Angin, memotong tembuni anak-anak topan yang bersikap tidak sopan. Menguburnya di dasar lautan. Agar tak lagi mengacau perjalanan nelayan.
Air, mengalirkan rasa penasaran yang bermunculan setelah anaknya yang air bah tertinggal di banyak rumah. Namun menghindari sawah-sawah. Agar hati dan harapan para petani tidaklah rebah.
Api, menyala hanya ketika rasa dingin merajalela. Menyuruh anak-anaknya yang berupa bara. Untuk tidak menghanguskan hutan. Agar perburuan tetap bisa dilakukan. Dan tidak berubah menjadi ladang pembantaian.
Tanah, meleleh saat lava melewatinya. Lalu melahirkan anak-anak kesuburan yang menumbuhkan tumbuhan dan akar-akar udara. Agar para pencari rumput untuk hewan ternaknya tidak merana.
Batu, adalah rahim dari anak-anak yang keras kepala. Menguasai desa dan kota dengan segala macam perwujudannya. Namun tetap berpijak pada kodrat. Hanya hujan yang berhak meninggalkan amanat. Berupa lubang-lubang yang menjadi rumah lumut. Asal muasal dari hidup yang patuh terhadap runut.
Apabila ternyata senja yang diam seribu bahasa sanggup mengudar banyak rahasia. Sudah selayaknya aku bersuara. Menjadi saksi pertama bahwa senja adalah ibu dari nyaris semua kata-kata para pujangga yang kehilangan cintanya.
Jakarta, 10 Maret 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H