Di setiap kehadiran hujan, perempuan itu tak pernah bisa tertawa. Baginya hujan adalah rintik-rintik kenangan yang menjatuhkan duri. Dari pinggiran langit yang serupa almari. Di sanalah letak masa silamnya terjeruji matahari.
Di setiap genangan yang dibuat oleh gerimis. Perempuan itu selalu membayangkan tangis. Mengucur deras dari pipi mendung yang terkucil. Dari segala bentuk keramaian dan lalu-lalang yang mustahil. Untuk diakuinya sebagai bahagia. Karena itu memang bukan miliknya.
Dari rahim-rahim alam yang mengandung cuaca sebagai anak kandungnya, lahirlah musim panas yang begitu gegas menghanguskan. Musim dingin yang tergesa-gesa membekukan. Musim gugur yang berduyun-duyun membuat keyakinan luntur. Dan musim semi yang menawarkan banyak perjanjian melantur.
Pada setiap hujan yang berjeda, perempuan itu membuat piramida airmata. Mengerucut pada duka-duka yang mengaliri lekuk sungai di pipinya. Menjadi muara-muara tempat rasa hambar dan aroma asin berlaga.
Pada setiap hujan reda, perempuan itu akhirnya menutup hampir semua jendela rumahnya. Membiarkan salah satunya selalu terbuka. Berharap ada kabar kepulangan. Dari cintanya yang dulu sempat bepergian, dan entah di mana kini bersemayam.
Bogor, 3 Maret 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H