Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Piramida Airmata

3 Maret 2019   18:05 Diperbarui: 3 Maret 2019   18:58 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di setiap kehadiran hujan, perempuan itu tak pernah bisa tertawa. Baginya hujan adalah rintik-rintik kenangan yang menjatuhkan duri. Dari pinggiran langit yang serupa almari. Di sanalah letak masa silamnya terjeruji matahari.

Di setiap genangan yang dibuat oleh gerimis. Perempuan itu selalu membayangkan tangis. Mengucur deras dari pipi mendung yang terkucil. Dari segala bentuk keramaian dan lalu-lalang yang mustahil. Untuk diakuinya sebagai bahagia. Karena itu memang bukan miliknya.

Dari rahim-rahim alam yang mengandung cuaca sebagai anak kandungnya, lahirlah musim panas yang begitu gegas menghanguskan. Musim dingin yang tergesa-gesa membekukan. Musim gugur yang berduyun-duyun membuat keyakinan luntur. Dan musim semi yang menawarkan banyak perjanjian melantur.

Pada setiap hujan yang berjeda, perempuan itu membuat piramida airmata. Mengerucut pada duka-duka yang mengaliri lekuk sungai di pipinya. Menjadi muara-muara tempat rasa hambar dan aroma asin berlaga.

Pada setiap hujan reda, perempuan itu akhirnya menutup hampir semua jendela rumahnya. Membiarkan salah satunya selalu terbuka. Berharap ada kabar kepulangan. Dari cintanya yang dulu sempat bepergian, dan entah di mana kini bersemayam.

Bogor, 3 Maret 2019

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun