Kau berlalu di hadapan masa lalu dengan masih menyisakan banyak pertanyaan. Kemudian semuanya tenggelam dalam jawaban-jawaban retorika yang sama sekali tidak berkepastian.
Bagimu masa lalu tak lebih dari kisah pertunangan yang digagalkan. Namun kau masih mengenakan cincin di tangan sebagai pertanda enggan melepas kenangan.
Lalu di mana letak masa depan jika kau terus-terusan memandangi cermin dan ingin membelah-belahnya dengan sorot mata dingin?
Sesungguhnya masa depan terletak di tajamnya tatapan. Semakin suram pandangan mata, maka masa depan akan semakin muram. Â Tak lebih baik dari kertas buram yang kau gambari dengan tinta yang meruamkan warna hitam.
----
Pada suatu sore yang tidak bisa dikatakan senja karena kau selalu berharap pagi tak usah beranjak pergi, kau memutuskan untuk berhadapan langsung dengan masa lalu. Mengupasnya habis-habisan. Membunuhnya dengan sekali tikam. Menggali lubang demi lubang. Lalu mengubur nyaris semuanya tanpa upacara pemakaman.
Kau merasa menang. Masa lalu hanya serupa sisa-sisa benang.
Tak mungkin bisa dipintal lagi untuk kemudian kembali menyakiti.
Jakarta, 26 Februari 2019
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI