Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Rapuh

24 Februari 2019   23:12 Diperbarui: 25 Februari 2019   00:29 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Spektrum cahaya di dunia boleh saja luruh satu persatu. Memenggal keinginan para kekasih untuk mengenal rasa, kemudian lupa menuliskan teorinya dalam diktat-diktat cinta.

Hanya tersimpan di perpustakaan tua yang rak-raknya rapuh nyaris rubuh. Menimpa hikayat Rama-Shinta yang tak lagi utuh. Rahwananya adalah megatruh, sedangkan Ramanya sekedar seorang ksatria yang lusuh.

Dalam gelap malam yang mencitrakan dirinya sebagai pemandu berbakat bagi arah yang tidak tepat, sepercik tumpahan api cukup untuk tidak tersesat. Melewati puncak dinihari. Agar sampai dengan selamat di penghujung pagi.

Saat ketika mimpi-mimpi disudahi dan diberi label tamat. Karena semua episode di dalamnya hanyalah lamunan yang mampat dan salah alamat.

Maka tidurpun sudah menjadi sedemikian rapuh. Hanya sebujur kaku tulang-tulang ngilu yang saling bergaduh. Dengan kecepatan detak jantung dalam memburu waktu. Supaya mimpi-mimpi selanjutnya bukanlah segmen malam yang kaku.

Bisa jadi ini rindu.

Atau mungkin potongan-potongan tertinggal dari adrenalin yang bisu.

24 Februari 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun