Dalam secangkir kopi pagi, aku melihat siluet wajahmu di uap tipisnya yang menari-nari. Aku menyesap aroma tubuhmu dari setiap sruputan yang sulit berhenti. Aku terseduh oleh tatapan berpaku dari hitam pekat matamu. Juga lemparan tajam seringai manismu.
Ini adalah mimpi yang sama sekali sulit dimengerti. Diterjemahkan berulangkali juga tak menemui arti. Mungkin ini semacam sugesti. Dari piasnya hati yang habis tercuri.
Bila saja malam yang rimbun oleh bintang digantikan kerumunan kunang-kunang, tentu aku tak perlu terlalu jauh menerawangkan lamunan. Di sayapnya aku bisa bergantung dalam diam. Membangkitkan hati yang perlahan siuman.
----
Dalam secangkir awan yang disisakan hujan, aku mendidihkan keinginan untuk berjumpa. Denganmu yang menguapkan banyak pemikiran. Entah tentang kita, atau justru lebih banyak mengenai pasar airmata. Di mana orang-orang berjualan cerita duka. Dan kau membelinya dengan harga berapa saja.
Ini bukan mimpi. Tapi keratan-keratan sunyi. Disajikan di meja sarapan. Tempat kita mengunyah dan menelan harapan demi harapan.
----
Sebaiknya lamunan ini kita sudahi sama-sama. Lautan terlalu lebar untuk diarungi dengan perahu yang kehilangan cadiknya. Bumi terlalu luas untuk dijelajahi menggunakan sayap-sayap yang telah dipatahkan oleh anginnya.
Kita di sini saja.
Menghabiskan secangkir kopi yang diaduk bersama awan yang belum kehilangan hujannya.
Pelangiran, 20 Februari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H