Bila telah terlewati batas sepi, maka yang nampak adalah keriuhan yang tak berarti. Kau tak ada di sini, maka yang terlihat adalah sobekan-sobekan mimpi yang mesti dijalin kembali.
Di langit-langit kamar yang sempit. Aku serasa di tepian langit. Nyaris terjatuh. Dengan keseluruhan hati runtuh.
Entah sekarang malam ke berapa. Aku coba merangkai sebuah berita. Atas dasar kabar dari fajar. Bahwa kau sedang mendesahkan ujar; terus terang aku merindukanmu, seperti kemarau yang mengharapkan hujan datang bertamu.
Begitu.
----
Tapi aku tahu kalau kau juga menyeret kedinginanmu ke perapian terdekat yang dinyalakan oleh kerinduan yang belum terbebat.
Kau merapikan arsip dan lemari tempat kau menyimpan segala macam kenangan yang membuatmu teringat kepadaku. Lelaki yang lebih sering membisu dibandingkan arca batu yang gagu.
Bukan begitu?
----
Sekarang sedang purnama. Mungkin malah pada puncaknya. Atau setidaknya nyaris mencapai tahta.
Kita mesti bersepakat satu hal. Kerinduan ini tidak boleh gagal.
Kau setuju?
Pelangiran, 19 Februari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H