Di sini, jembatan-jembatan seperti mutiara yang dirangkai dengan seutas mimpi. Menyatukan kali-kali besar dan kecil dalam kerinduan atas lautan. Bersama-sama mengalirkan kehendak mencairkan rasa hambar yang dikobarkan kesepian.
Dunia menyempit di satu sisi, melebar di peliknya dimensi. Genangan air nyaris sampai di tangga terakhir rumah-rumah panggung yang penghuninya semua termenung. Menunggu surut atau sekuat tenaga menyamarkan rasa takut.
Sungai Indragiri menyelimuti dirinya dengan suara kecipak hangat ikan Toman dan tiupan angin selat Melaka. Menyimpan kesakitan terpendam yang lama tidak diungkapkan. Tubuhnya sering meriang setelah tumpahan merkuri menumbuhkan duri di airnya yang makin hitam kecoklatan.
Namun orang-orang tak tahu itu. Atau malah mungkin tak mau tahu. Semenjak dahulu sungai-sungai besar dianggap pelayan. Mengantarkan perahu demi perahu, kapal demi kapal, tongkang demi tongkang. Tanpa diberi imbalan. Walaupun dengan sekedar tidak membuatnya bergelimang kotoran.
Dan kini, di sini, sungai Indragiri sudah tak molek lagi. Tubuhnya yang tambun belepotan busa sabun. Arusnya yang pelan dipenuhi sampah dan racun yang tumpah ruah.
Sungai ini, tak lama lagi kecantikannya hanya tinggal prasasti.
Menunggu giliran mati.
Tembilahan, 17 Februari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H