Aku baru saja membaca sebuah puisi.
Di dalamnya mengandung satu nampan gaya bahasa yang menggambarkan liukan tubuh erotis seorang perempuan yang jatuh hati terhadap rembulan namun kemudian menikamnya dengan sengaja.
Bait-baitnya mengisyaratkan ketajaman bilah kata yang merupakan simbol dari senyuman tragis seorang perempuan yang baru saja membunuh rembulan namun kemudian menyusuinya dan berharap ruh kembali kepadanya.
Kata demi kata dipenggal sedemikian mengejutkan sehingga terlihat seperti kecantikan khas gadis-gadis dari negeri mediterrania. Menggoda namun tak bisa digoda.
Puisi itu begitu romantis sehingga setelah membacanya aku harus menahan diri agar tidak menjelma menjadi seorang lelaki jahanam yang jatuh cinta secara liris.
Puisi itu menunjukkan penyairnya adalah seorang perempuan yang pada sepasang matanya tersimpan banyak kegaduhan namun menyorot hanya dengan satu keheningan.
Perempuan yang sedang mengejar malam untuk dijadikan kudapan.
Perempuan yang menunggu pagi demi pagi agar bisa membunuhnya berkali-kali.
Jakarta, 11 Februari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H