Memasuki ruang terbuka yang udaranya dipenuhi dengan rentetan jeritan demi jeritan. Melukai perasaan. Menyayatnya menjadi serpihan yang sulit untuk kembali dikumpulkan.
Orang-orang yang memutuskan untuk memasuki tahap kegilaan, menjadikan hatinya sebagai tumbal ketimbang harus menemui fase gagal. Memeram diri di gudang mesiu. Bersiap jika suatu ketika hendak meledakkan histeria yang melontarkan tajam paku dan sayatan sembilu.
Orang-orang terburu-buru memberi label merdeka pada mata mereka agar terhindar dari penjajahan penglihatan yang menuntun mereka pada kebutaan. Terhadap ilmu dan pikiran. Jangan sampai mereka diperhamba peradaban yang amnesia. Menjadi budak-budak zaman yang nyaris selalu terjebak dalam histeria.
Orang-orang tergesa-gesa melarikan diri secepat-cepatnya, atau bersembunyi sejauh-jauhnya. Dari kejaran dan tuntutan untuk selalu tampil ceria. Kemudian mesti pula berpura-pura bahagia. Di labirin waktu yang memutar kebingungan mencari pintu. Lantas mereka harus pasrah disebut sebagai makhluk dungu. Â
Di fase dan wilayah itu, semua panca indera lalu terseret dalam histeria yang membabi buta. Mata tak sanggup lagi membedakan mana purnama dan mana gerhana. Telinga tak mampu lagi mendengar itu nyanyian merdu atau bisikan setan yang merayu-rayu. Hati tak bisa lagi merasakan itu realita atau sekedar fatamorgana.
Di dunia fana yang dalam pikiran mereka adalah ujung perhentian. Bukan lagi hanya sekilas persinggahan.
Jakarta, 10 Februari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H