Pada secangkir kegelapan yang membutakan, tumbuhlah penglihatan atas kerimbunan hitam yang diaduk hati-hati oleh malam.
Langit hanya bisa diam. Percuma bergaduh jika tak ada satu matapun yang tercekam ketakutan. Semuanya sedang meruntuhkan kesadaran. Kecuali beberapa orang yang menceburkan diri dalam lamunan demi lamunan.
Kontemplasi mudah dilakukan pada saat seperti ini. Entah itu merenungi kesalahan. Atau sekedar meyakinkan diri untuk berdalih dari kebenaran.
Apabila lamunan terperosok begitu jauh dalam lubang-lubang yang digali pikiran, tak perlu terkejut manakala banyak sekali ditemukan kekhilafan. Sontak kemudian akal mencari-cari alibi spiritual. Walaupun seringkali mendapatkan alasan janggal yang pada akhirnya gagal.
Aku, sedang menyeret diriku pada salah satu lamunan itu.
Aku berada di suatu wilayah yang belum terpetakan oleh perasaan. Bukan hambar, tapi lebih tepat jika disebut samar-samar.
Semua rasa berkumpul dalam satu ruangan. Saling berkelindan. Mirip warna warni bianglala, yang turun ke bumi hanya dengan melewati satu tangga.
Di zona itu, daripada menggerutu terhadap hal yang tak tentu, aku memilih membatu.
Barangkali dengan membisu, aku bisa memilah dengan tepat mana di antara kumpulan rasa itu yang disebut rindu.
Aku membutuhkan pilihan itu. Karena aku rasa aku sedang merindukanmu.
Bogor, 9 Februari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H