Bagaimana kau membahasakan cinta antara bunga kamboja dengan tanah kuburan yang diluruhinya.
Satu bahasa bagi kamboja untuk wangi yang menyihir hati. Satu bahasa lagi bagi kuburan atas bau busuk dari banyaknya amalan buruk yang menguar dari tanahnya orang mati.
Bagaimana kau mengabadikan tatapan Adipati Karna di setiap paginya. Saat menyaksikan fajar yang merupakan ayahandanya menyapa dari balik jendela.
Apakah dengan bahasa cinta seorang anak yang lantas bersimpuh di hadapan Ra. Atau melemparkan segulungan nota tak terima karena tak pernah mengenalnya.
Bagaimana kau mengata-ngatai cinta dari seorang ibunda kepada bayi yang sedang menyusu sambil berjanji akan selalu melindunginya dari kelaparan dan marabahaya. Walaupun untuk itu sang ibu harus mempertaruhkan nyawa dan siap mendermakan airmata sebanyak-banyaknya.
Dan bagaimana juga jika sebaliknya. Apakah kau mengetahui bagaimana kelak si bayi akan mencintai ibundanya. Apakah juga dengan airmata atau justru memata-airkan duka nestapa.
Berbagai metafora cinta. Mengalirkan kejadian demi kejadian. Seolah semuanya berlebihan.
Padahal semua tidak terjadi begitu saja. Atau hanya perpustakaan hikayat semata-mata.
Namun sebagian besar karena memang begitulah cinta yang sebenar-benarnya.
Yang sama sekali tak pernah bermetafora. Di dunia nyata.
Jakarta, 7 Februari 2019