Terkadang alis kita bertaut hanya karena kita tidak penurut. Terhadap antrian panjang jual beli harapan yang membuat kita tenggelam dalam rasa takut.
Kita ingin melompatinya dengan langkah raksasa. Sementara hati kita sekecil liliput yang menyusut setiap harinya.
Seandainya harapan bisa dilelang mungkin tak perlu ada antrian. Orang-orang kaya dan berkuasa akan begitu mudahnya menawar dengan harga gila-gilaan.
Sisanya, orang-orang yang tidak kaya dan hamba sahaya, menonton di belakang sambil bertepuk tangan. Berharap sangat ada serpihannya yang beterbangan. Lalu jatuh tiba-tiba di pangkuan.
---
Di masa lalu, harapan telah menjadi sejarah yang gagu. Terpahat kuat di dinding waktu.
Di masa kini, harapan berceceran di jalan-jalan, selokan dan titik-titik perhentian. Orang sangat mudah menjejali hatinya dengan harapan, berjalan, berjuang, lalu berjabat tangan atau baku hantam, setelah itu pulang dengan cercah senyuman atau mulut terbungkam.
Di masa depan, harapan menjadi barang langka yang bisa disewakan. Tak banyak lagi orang yang berharap. Sebab tanah-tanah memadat, lautan terlanjur mampat, dan langit makin kedap. Bumi telah habis-habisan dilahap.
Jadi untuk apa berharap?
Jika tak ada lagi yang bisa diharap.
Jakarta, 6 Februari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H