Hukum kata-kata. Menggelar pengadilan tanpa panitera. Tak satupun akan tercatat. Walaupun telah membuat makna mati atau cacat.
Di kedalaman belantara, makna kata-kata adalah ketika;
harimau menerkam leher mangsanya, demi rasa lapar, bukan karena kesenangan membunuh yang sangar, untuk mendapatkan kepuasan yang barbar. Ia ingin rusa segera tercekik jalur nafasnya, menggelepar dengan sedikit jeda, mati lalu dimakan secara tergesa-gesa, tanpa kenikmatan sebuah jamuan prasmanan seperti manusia.
Di luasnya lautan, makna kata-kata adalah ketika;
nelayan terombang-ambing di atas perahunya yang kecil, di atas puncak gelombang yang terus membesar, sambil tak henti memperhatikan tali pancing, agar jangan sampai terpelanting. Ia bertaruh atas satu nyawanya, dibanding hak hidup keluarganya yang menunggu fajar menyingsing, agar bisa ikut menyeret keranjang demi keranjang ikan dan kepiting.
Di ketinggian langit, makna kata-kata adalah ketika;
seekor elang menabrak derasnya angin yang bergumpal-gumpal, dengan menyurutkan rasa gagal, dalam serapat-rapatnya kemauan, agar bisa mengendarai amukan, tanpa ikut meledakkan kemarahan. Begitu juga ketika, kabut mendaki tangga demi tangga, agar sampai di pelataran angkasa, lalu disemai secara sederhana, menjadi bibit hujan yang paripurna.
Hukum kata-kata. Mengikuti setiap kalimat. Agar jangan sampai tersesat. Ke tempat-tempat yang tak berkhidmat.
Setelah pengadilan sepakat, itu semua bukan persidangan yang dianggap laknat.
Bogor, 5 Februari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H