Aku kehilangan adrenalin nyaris separuhnya. Kau mengambilnya begitu saja dengan cara tidak memaksa tapi aku terpaksa merelakannya.
entah untuk kau buat apa. kau tidak perlu adrenalin untuk memompa hampa. kau sudah berada di ruang itu semenjak menerbangkan pikiranmu ke banyak prasangka.
jujur saja. aku lebih memerlukannya. aku ditakdirkan menjadi seorang yang makar. sedangkan sekarang aku adalah hanyalah sekotak lilin yang belum terbakar.
aku mendingin dengan cepat. dimulai dari kelopak mata yang membeku, jari-jari yang kaku, dan pikiran yang membatu.
aku pikir aku berada pada fase kesadaran naif. pada senja yang baru tiba aku sebut ia sebagai kedatangan primitif. tepat waktu, di jam yang sama, dan dari siluet matahari yang tak beda.
bila terus dibiarkan. aku akan tak lebih dari bubu tanpa ikan, kota tanpa keramaian, dan kampung tanpa hikayat malam.
aku akan lenyap secepat kesenyapan. lalu mati tanpa bisa dikuburkan.
tolong adrenalinku kembalikan.
Bogor, 4 Februari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H