Pagi menari-nari
di atas kota yang penghuninya kebanyakan lupa melihat
sebab matanya terpaku pada angka-angka
juga lupa mendengar
sebab telinganya berdengung sekeras lebah pekerja
Â
Pagi menghentikan tariannya
digantikan dengan mengalunkan tembang-tembang kegembiraan
di tengah kota yang penghuninya menutupi gendang telinga
sebab kegembiraan cuma ada di radio
juga membebat pupil mata
sebab kebahagiaan hanya dipertontonkan televisi
Pagi menghentikan semua
kali ini mengirimkan misai matahari
menyengat langsung kota yang penghuninya meletakkan mata
di pinggan sarapan dan lalu lintas yang menggulana
juga menitipkan telinga
di jalan layang dan halte bus kota
Kota adalah ujung dari khayalan seseorang
di sana banyak menjual kubangan harapan, dengan harga recehan
di sana juga disediakan kuburan, dengan semahal-mahalnya bayaran
Kota adalah stereotip dari sebuah kerumitan
dan kita tinggal di dalamnya tanpa sedikitpun kemudahan
lalu kita menjadi peminta-minta, dari asa demi asa yang jatuh berguguran
Jakarta, 4 Februari 2019
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI