Aku dulu pernah menuliskan sajak tentang romantisme sandyakala. Sesosok senja yang mencintai malam beserta segala atributnya. Â Tidak peduli jeda untuknya tidaklah panjang. Hanya satu kecupan untuk kemudian beranjak pulang.
Kini aku tambahkan, sandyakala juga bisa begitu sinis. Merajamkan hukuman melalui mulut manis tapi bertajuk apokaliptis. Menusuk tanpa peringatan. Membunuh tanpa kematian.
Sesungguhnya ini peristiwa tragis. Saat memori traumatis telah disimpan baik-baik dalam sajak-sajak liris. Muncullah tanggapan miris dari mata yang menyaksikan sandyakala sebagai bagian dari sajak-sajak psikosomatis.
Sinisme sandyakala dilakukan dengan meruncingkan bibir terhadap perjalanan takdir malam yang dianggap sebagai penyamun tanpa hati. Hanya memberi kesempatan senja untuk berbuat kebaikan tak lebih lama dari hitungan jumlah jari. Â
Sinisme karena sakit hati. Sandyakala bahkan membiarkan kecantikan senjanya mati. Dan membiarkan para pengagumnya satu persatu membunuh hatinya sendiri.
Jakarta, 3 Februari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H