Aku ingin meringkuk dan melipat tubuh sekecil mungkin. Pagi ini terlalu besar bagiku. Mungkin aku tak sanggup melihat bagaimana rantai embun terpecah lalu jatuh berkeping-keping. Di tanah yang garing.
Bisa juga karena aku tidak terima yang dinamakan kepedihan sebab apa yang dilakukan embun-embun itu adalah upaya bunuh diri yang berlebihan.
Sepertinya aku juga tak mampu menerjemahkan dengan baik saat kabut tiba-tiba melenyap. Aku pikir semua itu karena hati yang melindap. Sehingga mata terjebak dalam senyap.
Sekeras apapun aku coba mengikuti uap tipis dari pucuk cemara yang berasal dari sirip daunnya yang menggumpal, supaya aku tahu di titik mana ia mencabar, aku gagal. Ini lebih disebabkan aku harus berkedip sehingga penglihatanku salah lafal.
Di jeda sepesekian detik aku telah merasakan kehilangan yang cukup pelik.
Ini saatnya aku kembali terbangun untuk menyongsong matahari. Aku ingin memunguti remah-remahnya persis seperti ketika serombongan merpati mematuki remah-remah roti.
Kini, aku terjaga sepenuhnya.
Terimakasih wahai pagi yang mulia!
Jakarta, 3 Februari 2019
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H