Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Memunguti Remah-remah Matahari

3 Februari 2019   08:39 Diperbarui: 3 Februari 2019   08:56 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : pixabay.com

Aku ingin meringkuk dan melipat tubuh sekecil mungkin. Pagi ini terlalu besar bagiku. Mungkin aku tak sanggup melihat bagaimana rantai embun terpecah lalu jatuh berkeping-keping. Di tanah yang garing.

Bisa juga karena aku tidak terima yang dinamakan kepedihan sebab apa yang dilakukan embun-embun itu adalah upaya bunuh diri yang berlebihan.

Sepertinya aku juga tak mampu menerjemahkan dengan baik saat kabut tiba-tiba melenyap. Aku pikir semua itu karena hati yang melindap. Sehingga mata terjebak dalam senyap.

Sekeras apapun aku coba mengikuti uap tipis dari pucuk cemara yang berasal dari sirip daunnya yang menggumpal, supaya aku tahu di titik mana ia mencabar, aku gagal. Ini lebih disebabkan aku harus berkedip sehingga penglihatanku salah lafal.

Di jeda sepesekian detik aku telah merasakan kehilangan yang cukup pelik.

Ini saatnya aku kembali terbangun untuk menyongsong matahari. Aku ingin memunguti remah-remahnya persis seperti ketika serombongan merpati mematuki remah-remah roti.

Kini, aku terjaga sepenuhnya.

Terimakasih wahai pagi yang mulia!

Jakarta, 3 Februari 2019

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun