Nampaknya kita sedang berkomedi paling satir di dunia setelah malam yang anggun kita anggap sebagai kegelapan yang tambun.
Kita sama-sama memandangi sisa bintang yang ada dan menduga bahwa yang lainnya sedang berunding di sebuah perkumpulan rahasia yang menyembunyikan semesta di mata kita.
Kita tidak peduli ketika hujan membuat kepala kita kuyup dan menyebabkan otak kita meredup.
Biar sajalah katamu. Aku tak ingin berpikir apa-apa. Biarkan saja semesta membuat rencana dan kita tinggal mengikutinya.
Tentu aku tidak setuju. Rencana adalah bagian terbesar dari perjalanan waktu. Padanya kita memancang penglihatan. Padanya kita menitipkan pendengaran. Padanya pula kita berharap atas kejadian-kejadian.
Kemudian ternyata kamu memilih untuk lebih sarkas terhadap malam yang bergaris tegas tapi kamu anggap sebagai kegelapan yang getas.
Kita tak lagi memandangi bintang namun lebih banyak melamunkan elang. Berada di bentangan sayapnya, terbang rendah menyisir permukaan lautan, lalu menemukan kedamaian saat angin yang bergaram menerpa muka dan mengingatkan kita tentang kata pulang.
Bogor, 2 Februari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H