Aku melihat matamu menyimpan landskap hutan yang terbakar. Korneamu membesar ikut berkobar. Teringat anak-anak harimau piatu, yang mengaumkan bau sangit dari bulu-bulu hangus menjadi abu.
Aku melihat airmatamu memantulkan siluet rawa yang telanjang. Bibirmu bergetar membisikkan belasungkawa sumbang. Pohon-pohonnya dijenayah hingga berjenazah. Terkapar di pojokan parit-parit gajah. Seperti korban perang yang tak sempat dikuburkan. Terhampar sebagai memoar tulang belulang berserakan.
Aku melihat tatapanmu menerawang ke sudut terjauh. Ketika sarang orang utan satu demi satu runtuh. Berhamburan di lantai hutan yang licin setelah dibersihkan. Oleh rahang mesin raksasa pelahap yang kelaparan.
Aku melihatmu terisak dalam diam yang begitu hening. Hatimu ikut mengering. Menyaksikan mosaik belantara porak poranda. Dirudapeksa tangan-tangan angkara. Demi pergerakan angka-angka. Di bursa saham yang disulap menjadi surga. Oleh wajah zaman yang berjelaga.
Aku ingin melihatmu tersenyum. Tapi selama rimba dan anak-anaknya masih menjadi epicentrum. Dari meja prasmanan raksasa. Aku pikir senyummu adalah sketsa muka paling langka. Jarang sekali ada.
Bogor, 2 Februari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H