Ketika pagi, memutuskan untuk tidak lagi menyuapi keping-keping matahari di halamannya yang rusuh oleh serasah yang luruh, pagi lantas menyanyikan megatruh. Tembang yang dipersembahkan kepada daun-daun yang jatuh untuk memutar ulang kembalinya ruh.
Dari bermulanya fotosintesa. Mendaur ulang air mata. Memasaknya di tungku-tungku stomata. Mengirimnya ke segenap penjuru tubuh. Agar hari tidak terburu-buru runtuh.
Ketika matahari, memberi tanda disudahinya mimpi kepada pagi yang masih menyelinap di ketiak cemara dan terkantuk-kantuk di antara aroma kamboja, matahari lantas mengeraskan senyumannya. Senyum yang memancarkan kehangatan supaya permulaan hari tidak lah belingsatan.
Ini kesempatan bagi siapapun. Untuk menjemur harapannya yang masih dilanun. Oleh cipratan kenangan dan tempias hujan. Menghangatkannya di halaman, bersama daun-daun yang terpisah dari ranting dahan, setelah melakukan tugasnya melakukan perjamuan.
Bogor, 2 Februari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H