Seringai kegelapan muncul di atas kota yang detak jantungnya lebih dihidupi oleh cahaya. Mau tidak mau kepalanya yang kaku tertunduk kelu di antara rimba menara kaca yang merupakan anak-anak kebanggaannya.
Hujan rasanya akan menuruni undak-undakan langit yang juga kehilangan cahaya setelah dilahap habis oleh senja. Bila memang jadi datang, kota akan basah kuyup, tenggelam dalam kabut yang diperberat oleh logam-logam tak kasat mata.
Orang-orang berlarian mencari perlindungan. Hujan memang menyenangkan. Tapi juga menakutkan jika melibatkan malam. Tak ada yang sanggup memastikan apakah bulir-bulirnya yang berjatuhan adalah benar-benar air biasa. Bukannya tajam kata-kata yang dihamburkan oleh kota yang berbisa.
Didahului oleh gerutu ragu-ragu petir yang coba mengharu biru, pekat sepenuhnya jatuh tengkurap. Menelungkupi kota yang berusaha seadanya meralat hilap. Dari kekeliruan yang mungkin hari ini terlanjur dicaci-makikan. Kepada orang-orang yang telah memeras nafasnya hingga bibirnya bergemeletukan.
Cahaya-cahaya lampu ibarat sabetan lengan ilalang. Setajam mata pedang. Memperkenalkan luka-luka pada peristiwa kelumpuhan hari. Ketika hujan yang menari-nari lebih dirasakan sebagai pedihnya sayatan-sayatan hati.
Jakarta, 31 Januari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H