Duhai kekasih, yang sengaja memerangkap diri dalam api,
pagi tadi aku menghanyutkan hujan di matamu yang sepi
lalu sungai-sungai deras terbentuk di pipi
menjeramkan geraman di antara batu-batu yang terlontar garang
dari bibirmu yang mendadak semurka kawah Sikidang
Duhai kekasih, yang pada hatimu tumbuh duri-duri kaktus,
siang ini aku membicarakanmu bersama cumulonimbus
sepakat menguburkan ratapanmu ke dalam sarkofagus
bersama badai yang pasti akan turun
di sela-sela hujan yang begitu rimbun
Duhai kekasih, yang menyapu segenap kebisuanku,
petang ini aku menggaduhi telingamu dengan keriutan daun bambu
ingatlah kalau bambu itu asal muasal bilah sembilu
dengan teramat sangat sanggup melukai
setara dengan bagaimana caramu mencintai
Duhai kekasih, yang seringkali mengudap serpihan melati,
malam ini aku akan menguliti mimpi
maukah engkau menemani?
menguliti mimpi itu sesulit menerjemahkan puisi Rumi
dan aku tahu engkau adalah pemujanya yang abadi
Engkau mesti tahu untuk apa sebenarnya mimpi dikuliti?
Baiklah, aku mengaku,
aku akan menjahit dua pasang sepatu dari kulit itu
agar kita bisa berlari tanpa tertusuk duri
atau terjerembab di kubangan paling sunyi
Palembang, 30 Januari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H