Di matamu, aku menitipkan banyak hal tak masuk akal. Termasuk bagaimana cara terbaik menjadi jagal. Yaitu memenggal kata gagal. Atas pernik-pernik hidup yang seringkali begitu janggal
Seperti ketika aku menelungkupi pagi di kotamu yang mulai jemu menghadapi keluh kesah para penghuni yang kadang menipumu dengan berpura-pura tuli dan gagu.
Juga ketika aku memasuki gerbang stasiun yang kaku di saat aku kehilangan kartu sehingga aku cuma bisa berdiri di emperannya sebagai kutu. Tanpa buku-buku di kepalaku.
Di matamu, aku menggadaikan banyak perkara yang aku tak bisa perjual belikan. Kita tawar menawar setiap harinya. Berapa harga untuk bertempat tinggal, minum dan terbaring lelap setiap malamnya.
Kau memang mahal. Malah terkadang sangat brutal. Mungkin karena kau sudah hafal bagaimana menghadapi sesuatu yang binal.
Aku pikir kau adalah bagian terburuk dari sebuah hubungan. Aku di selokan dan kau di bubungan. Kita tidak dalam satu taraf untuk saling bertemu. Kau di langit ke tujuh, sedangkan aku di posisi minus satu.
Bagaimanapun aku masih bisa mengirimimu pesan. Lewat gerutuan maupun celotehan. Itu sah-sah saja bukan?
Karena di matamu, aku telah men-serah terimakan tubuhku. Di kolong tempat tidurmu yang sangat kalap melahap waktu.
Bogor, 27 Januari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H