Tepatnya, saya begitu "merdeka" dalam berkarya. Kemerdekaan yang saya proklamirkan sendiri di hati, saya hayati, dan saya ikuti sebagai pedoman agar saya tidak menemui barrier atau tembok tinggi yang akan membuat saya ragu-ragu, tidak yakin, dan akhirnya tidak jadi menulis.
Saya sama sekali tidak mau terjadi hal seperti itu.
Tapi tentu saja "kemerdekaan" itu harus dibayar dengan kemungkinan "bersengketa" dengan teori-teori sastra yang ada.
Mungkin saja puisi-puisi saya ternyata jauh panggang dari api teori penulisan puisi. Bisa saja cerpen-cerpen saya mengingkari apa yang ada dalam diktat kepenulisan cerita pendek. Barangkali novel saya tidak tahunya melenceng jauh dari kaidah penulisan novel.
Saya menyadari semua hal itu.
Akhirnya
Namun sekali lagi, karena saya telah memproklamirkan "kemerdekaan" saya dalam menulis, jadi saya tetap akan menjalani semuanya dengan bahagia. Walaupun kemungkinan "persengketaan" tadi ternyata menggelegar, saya tidak akan gemetar. Meskipun peluang persengketaan itu ternyata besar, saya tidak sedikitpun gentar.
Sebab bagi saya, menulis karya sastra adalah spektrum kebahagiaan yang tidak boleh sama sekali dikuliti oleh pertentangan dengan teori.
Di lain sisi, saya menghormati semua teori kesusastraan yang saat ini bertahta. Kerajaan sastra tetap berdiri dengan segala bentuk eksistensinya.
Sedangkan saya, biarlah ada di pinggirannya dan menikmati semua kebahagiaannya. Dengan cara saya.
Bogor, 27 Januari 2019
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H