Mimpi-mimpi yang dipersiapkan oleh para koki dinihari telah diletakkan di meja besar tempat pertemuan alam bawah sadar. Nanti, setelah kabar-kabar yang beredar lenyap dilahap lembar demi lembar dengkur yang menggelegar.
Pertemuan yang biasa terjadi ketika mata diperintahkan untuk mati namun hati disuruh jangan berhenti memikirkan apa saja yang telah terjadi. Mata dinobatkan sebagai saksi peristiwa dan hati yang memerankan diri menjadi panitera.
Kejadian-kejadian yang terwujudkan setelah rencana-rencana dimaklumatkan semenjak pagi diadzani oleh para muazin yang melengkingkan kebesaran dan keagungan Pemilik semesta. Pemilik yang tak pernah menagih sewa satu keping perakpun, namun penyewanya banyak yang memilih bersikap biasa saja. Pura-pura lupa ini tinggal di lapak siapa.
Lupa yang dipelihara seperti memelihara kuda. Dilepas liarkan untuk merumput di padang gembala yang dikawal anjing-anjing bersuara singa. Setelah itu dijinakkan di kandang-kandang yang di dalamnya diletakkan sisa-sisa ingatan yang ada tanpa berisi apa-apa.
Malam kemudian menyanyikan tembang-tembang pengingat paling tua. Tapi tak berarti apapun juga. Ingatan telah terbasuh membanjirnya megatruh. Mocopat yang dengan sederhana memisahkan ruh. Dari badan wadagnya yang tersusun dari urat syaraf dan aliran darah yang telah runtuh.
Malam bernyanyi bukan untuk merayakan kegembiraan dari pesta panen kunang-kunang. Namun sesungguhnya sedang bernyanyi untuk mengingatkan kembali tentang betapa sakralnya upacara kematian.
Bogor, 25 Januari 2019
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI