Aku mengirimkanmu pesan yang abstrak. Pada tubuh senja yang di penghujungnya patah berderak.
Palingkan wajahmu yang terbaik. Supaya kau bisa membacanya dengan pengertian tak terbalik.
Begini pesanku; bila sempat kau tumbuhkan kekuatan yang kau ambil dari jejak matahari. Di ujung jari jemari yang kau gunakan untuk menyemai rumpun melati. Tolong beri tanda di petak tanah mana kau akan bertanam. Di pelataran depan tempat kau mengedepankan harapan, atau di halaman belakang tempat kau membelakangi kenangan.
Bila kau paham artinya. Berikan aku pesan balik yang sama. Menggunakan juga pertanda-pertanda abstrak. Pada sosok malam yang tubuhnya retak-retak. Oleh perlakuan purnama yang tertutup hitamnya maskara. Dari mendung hitam yang tak henti bersamsara.
Besok saat kita dipertemukan kembali oleh jendela yang sama-sama terbuka. Kita harus berterus terang apa adanya. Bahwa pesan abstrakku telah menumbuhkan bunga-bunga di halaman rumahmu. Dan pesan abstrakmu telah menggiring mataku menyaksikan bunga-bunga itu bermekaran satu persatu.
Ternyata inilah yang sebenarnya berlaku;
kita sedang memandangi halaman yang sama. Ke arah bunga-bunga di hadapan kita. Sembari berjanji menyudahi pesan-pesan abstrak selanjutnya. Sebab pesan-pesan itu hanya bisa diekstrak secara rahasia.
Kita sama-sama tahu rahasia itu tersimpan rapat di balik pintu.
Pintu gerbang yang hanya bisa dilintasi waktu.
Bogor, 25 Januari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H