Semenjak dahulu, ketika bunga sepatu masih disebut Hibiscus rosasinensis, oleh para pecinta gerimis, taman dan halaman sudah berulangkali melahirkannya, demi pagi yang romantis, dan senja yang menjaninkan sajak-sajak liris.
Berulang kali, saat bunga sepatu dijadikan simbol terkuat bermulanya langkah pertama, kala perjalanan adalah ujung bayangan yang menakutkan, tanah-tanah merah telah menyediakan dirinya sebagai rumah, bagi akar-akarnya yang mencari arah.
Jarang terjadi, pelataran yang ditumbuhi bunga sepatu, pemiliknya hanya termangu, sambil mengudap masa lalu, sebagai sarapan pagi yang bisu.
Selalu saja, pemiliknya adalah pejalan kaki, atau seorang pelari. Menyambut ufuk dengan buru-buru mengenakan sepatu. Siap mengelilingi takdir. Agar keberadaannya tidak hanya menjadi potongan batu menhir.
Filosofi kembang sepatu. Bukanlah filosofi tertinggi dari seorang filsuf yang hobi membicarakan mati setelah mati, atau hidup yang bereinkarnasi. Tapi setidaknya bisa mengingatkan. Kepada semua orang. Bahwa bagaimanapun perjalanan memang mesti dilakukan.
Tak peduli jarak dan waktu. Tak berhitung onak dan batu.
Jakarta, 23 Januari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H