Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Puisi | Karena Apa Langit Berduka

23 Januari 2019   16:13 Diperbarui: 23 Januari 2019   20:30 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berbagai hipotesa membuncah dalam kepala. Begitu melihat langit nampak begitu berduka.

Mungkin karena serangkaian mendung berlaluan memperlihatkan wajah murung. Nasibnya terkatung-katung. Di antara kejatuhan yang lebam, atau menetap tinggal dan dipaksa mendiamkan hitam.

Mungkin karena angin bertiup terlalu kencang. Dingin mengeluarkan ancaman. Hati-hati, bahkan kebekuan hati pun bisa mengobarkan api.

Mungkin karena orang-orang memilih bersembunyi di balik kaca dan atap baja. Sengaja menghindari kisi-kisi jendela. Ketakutan akan hujan. Bagi mereka kadangkala hujan adalah sebuah kejadian rutukan.

Mungkin karena lautan enggan menggeliatkan dirinya yang penat. Gelombangnya hanya menyerupai riak telaga yang mampat.

Mungkin karena semakin banyak airmata yang menciptakan danau-danau baru. Dari deraan dan hunjaman ratapan pilu. Atas nama apa saja. Bisa luka, huru-hara maupun cinta.

Berbagai hipotesa tidak berhasil tepat menduga kenapa langit berduka. Karena penyebabnya adalah memang itu semua.

Jakarta, 23 Januari 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun