Berbagai hipotesa membuncah dalam kepala. Begitu melihat langit nampak begitu berduka.
Mungkin karena serangkaian mendung berlaluan memperlihatkan wajah murung. Nasibnya terkatung-katung. Di antara kejatuhan yang lebam, atau menetap tinggal dan dipaksa mendiamkan hitam.
Mungkin karena angin bertiup terlalu kencang. Dingin mengeluarkan ancaman. Hati-hati, bahkan kebekuan hati pun bisa mengobarkan api.
Mungkin karena orang-orang memilih bersembunyi di balik kaca dan atap baja. Sengaja menghindari kisi-kisi jendela. Ketakutan akan hujan. Bagi mereka kadangkala hujan adalah sebuah kejadian rutukan.
Mungkin karena lautan enggan menggeliatkan dirinya yang penat. Gelombangnya hanya menyerupai riak telaga yang mampat.
Mungkin karena semakin banyak airmata yang menciptakan danau-danau baru. Dari deraan dan hunjaman ratapan pilu. Atas nama apa saja. Bisa luka, huru-hara maupun cinta.
Berbagai hipotesa tidak berhasil tepat menduga kenapa langit berduka. Karena penyebabnya adalah memang itu semua.
Jakarta, 23 Januari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H