Aku menenggelamkan diriku ke dalam buku-buku yang mengurutkan pedihku ke dalam vokal tanpa suara dan konsonan tanpa bunyi. Karena semua bunyi kini adalah sunyi.
Dalam kesunyian aku mengosongkan diri sebisanya. Setidaknya aku bisa menghilangkan jejak-jejak kegaduhan yang menggerogoti isi kepala ke dalam hiruk-pikuk prasangka.
Terhadap prasangka yang menganggap semua kejadian adalah mangsa, aku akan memasungnya dalam ruang gelap tanpa pelita. Jika perlu aku akan menjadikannya pasien di rumah sakit jiwa. Sebab prasangka adalah seburuk-buruknya rencana.
Rencana-rencana yang tak sempat dilaksanakan akan menua di kepala. Mengerak, membatu dan menjadi arca. Dari situlah sebenarnya awal mula sebuah prasangka.
Rencana-rencana yang dibiarkan mengalir seperti sungai-sungai yang menuruni gunung, mengairi sawah-sawah, membelah jantung kota, lalu berkecipak di muara, adalah rencana yang menjadi peristiwa. Tak akan pernah ada prasangka di dalamnya.
Bogor, 19 Januari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H