Para penyair kedinginan di depan perapian
sukmanya larut pada nyala api bergemeratakan
melahap ranting-ranting kayu
melenyap jadi abu
begitulah cara penyair melebur bersama waktu
Para pujangga terlelap di pinggiran sungai berair bah
jiwanya kandas di deru arus yang tertumpah
sengaja terhumbalang di lubuk dalam
menghindarkan tenggelam dengan sengaja menyelam
begitulah cara pujangga menyembunyikan kisah kasih kelam
Para nelayan membiarkan dirinya diciprati buih gelombang
kepada rembulan yang menarik lautan pasang
mereka berdendang
;jika angin daratan menyuruh mereka pulang
sebelum perahu dipenuhi oleh cakalang
maka mereka tak akan ragu-ragu untuk berpantang
Para petani menyumbat pematang
demi tubuh-tubuh padi yang nyaris matang
menghela keinginannya di dangau yang sepi
mereka hanya punya satu-satunya mimpi
yaitu memanen bulir-bulir cantik berisi
lalu memingitnya di lumbung tempat cita-citanya berkoloni
Para pengendali kuasa menempelkan dirinya di layar kaca
mempergunakan lem terkuat dari getah perca
menjual mukanya secara cuma-cuma
dengan sedikit timbal balik seadanya
;pilihlah aku yang sederhana
maka kau akan mendapatkan wali paling sempurna
Para pemilih berkaca-kaca
menumpahkan tangis sejadi-jadinya
di bantaran kali, kolong jembatan dan gorong-gorong yang terbuka
di terminal, stasiun, dan halte bus kota
di sela-sela harapan yang membara
dan janji-janji yang kelak akan sirna dengan sendirinya
Jakarta, 18 Januari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H