Semahir apa kau menyimpan kekacauan hatimu yang meracaukan kedatangan seseorang yang berjanji membawakanmu sepetik bunga musim panas dari negeri Cina meski kau tahu sekarang adalah puncak musim dingin?
Sekacau apa kau melemparkan kata-kata gelap yang menyertai hujan-petir di telinga orang yang bersumpah kepadamu akan melakukan ritual sakral mengundang rembulan di halaman tempat kau menanam bunga sepatu?
Segelap apa cuaca yang kau bawa di belakangmu setelah mendengar kabar bahwa kemarau sedang mengeringkan ratapan terakhir yang tersedia bagi siapapun yang hendak memenggal kesedihannya di tengah jalan sebelum menjadi tangisan?
Sesedih apa kau ketika memahami garis yang terputus di horison langit bukanlah karena senja tapi ternyata disebabkan oleh banyaknya orang-orang yang meminta suaka dari serbuan duka?
Aku tak mengerti semua. Kau tak menjelaskannya secara paripurna.
Aku hanya bisa membayangkan betapa kekacauan itu menerbitkan tajuk utama kegelapan di halaman depan raut muka seorang perempuan yang tak mau beranjak dari tempatnya agar bisa nyaman menikmati mekarnya bunga sepatu di puncak musim dingin dengan kemarau besar di hatinya yang terbakar.
Jakarta, 17 Januari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H