Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Trilogi Puisi, Secangkir Kopi

15 Januari 2019   23:58 Diperbarui: 16 Januari 2019   00:12 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Atas nama kerahiman tak putus-putus dari kasih secangkir kopi bagi orang-orang yang meletakkan kepalanya di dalam nampan kata-kata, orang-orang itu lalu mengeja huruf demi huruf dengan menyesap sruput demi sruput keberanian dari aroma pekat kopi yang menguar ke udara.

Secangkir kopi. Sama dengan selautan mimpi. Kurang lebih dengan segunung kekuatan hati. Bagaimana sebaiknya merajut benang-benang harapan. Ke dalam tenunan kenyataan.

Secangkir kopi di pagi hari setelah menyelesaikan segenap mimpi, baik yang jadi maupun nyaris mati, akan sangat menginspirasi bermulanya hari. Dua belas jam tak akan terasa membosankan. Saripati kopi adalah garansi tak ternafikkan.

Secangkir kopi di malam hari setelah membaringkan kelelahan di pundak kegelapan, akan menjalari urat-urat syaraf yang kebas, ke suasana beringas namun pantas. Adrenalin tidak padam. Meski kelam menyeringaikan tiupan mematikan agar mata segera terpejam.

Atas nama terimakasih tak terhingga bagi secangkir kopi yang menemani hingga dinihari. Ketika puncak hening membangunkan alam bawah sadar untuk menggelar tikar di bawah bayangan rembulan yang menyapa samar-samar.

Berucap Allahu Akbar. BagiMU yang menguasai segala hal kecil maupun besar.

Bogor, 15 Januari 2019

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun