Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Trilogi Puisi, Secangkir Senja

15 Januari 2019   22:19 Diperbarui: 15 Januari 2019   22:44 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ngengat-ngengat beterbangan mencari persinggahan di penghujung hari yang terlompat-lompat pada temaram yang nampak sekali akan mampat.

Matahari menenggelamkan dirinya melalui jajaran kanta yang diletakkan sengaja agar memantulkan bayangan terakhir cahaya yang terlihat sangat maya.

Gerbang malam terbuka. Lusinan kelelahan terbaring di sana. Menunggu ditidurkan tembang-tembang kenangan yang dilantunkan para amphibi di kolam dan sawah yang terlebih dahulu terlelap ditinggalkan para petani.

Sungai-sungai kecil mengalir dalam senyap. Sungai-sungai besar tubuhnya melindap. Gunung-gunung seolah terkikis habis dimakan rayap. Dunia lantas seakan-akan melenyap.

Kabut dan luput sama-sama turun dari langit untuk bersama-sama bersimpuh dalam keremangan yang membuat kesadaran orang-orang meregang. Inilah saatnya pulang.

Semua tersaji dalam secangkir senja. Di atas meja makan malam yang dilampiri sekeping rasa syukur yang sederhana. Bagi apa saja. Untuk siapa saja. Setelah melampaui satu hari tanpa bermuram durja.

Bogor, 15 Januari 2019

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun