Rajo mematikan beberapa pelita dan hanya meninggalkan satu yang menyala di hadapannya. Sambil menghela nafas panjang, Rajo melirik anak lelakinya sedang tertidur pulas menunggu tengah malam nanti dibangunkan. Membantunya mengangkat jaring ikan.
Akhir-akhir ini bagan selalu sepi. Setiap kali mengangkat jaring raksasa yang dibentang dan diangkat secara manual ini, hanya sedikit sekali ikan yang tertangkap.
“Mungkin laut sedang berduka. Orang-orang berkapal besar dan canggih dengan mudah memanen ikan berlimpah ruah. Sampai ke anak-anaknya yang masih kecil pun habis terbawa pukat,” Rajo memutar kalimat itu dalam benaknya yang penat.
Pikirannya melayang ke rumah. Di sebuah petak sempit jajaran rumah-rumah nelayan tradisional. Rumah yang setiap harinya menguarkan aroma ikan asin, terasi dan bau laut yang pekat. Rajo menyukainya. Baginya, rumah seperti cangkang kecomang itulah yang menumbuhkan banyak cinta.
Kepada Ningsih. Wanita lulusan perguruan tinggi di kota yang pernah KKN di sini dan jatuh cinta pada desa yang menggugah semua naluri kemanusiaannya. Wanita yang lalu mengabdikan dirinya sebagai guru bagi anak-anak di desa nelayan yang miskin itu. Wanita yang rela meninggalkan semua kemegahan kota dan memutuskan untuk menetap. Wanita yang kini menjadi ibu dari 3 anaknya.
Rajo tersenyum. Entah keajaiban apa yang membuat Ningsih lantas menerima pinangannya saat itu.
“Apakah purnama di atas samudera mengirimkan pesan kepadamu Ningsih? Sehingga kau tak berpikir panjang untuk menerima lelaki kasar yang hanya bisa berkawan dengan lautan?” Rajo masih terheran-heran meski hatinya girang bukan kepalang.
Rajo ingat betapa Ningsih tersenyum saat itu sambil menjawab lirih,”hati terbuat dari rasa Bang Rajo, bukan dari baja. Kita tak bisa memerintah hati, dialah raja yang memerintah dirinya sendiri.”
Lelaki muda yang tidak sekolah tinggi dan dibesarkan di pesantren, menyerap ilmu-ilmu agama dan sastra dari para gurunya yang mulia, menggumamkan sebuah syair singkat;
Kekasih, aku adalah lelaki lautan
aku meminangmu sekuat angin daratan
aku akan mencintaimu tanpa putus seperti gelombang
aku akan mencarikanmu ikan meski perahuku berlubang
aku hidup untuk mencintaimu, bersama lautan yang juga mencintai keluargaku
aku juga akan mati dalam keadaan mencintaimu, di lautan yang juga mencintaiku
Ningsih terpana. Sama sekali tak menyangka.
----