Sungai-sungai puisi
membelah desa-desa yang sepi
melintas dengan bebas
hingga sampai pada pucuk padi yang meranggas
karena sudah waktunya melunasi janji
bulir-bulirnya yang berisi melahirkan bayi-bayi
puisi yang sudah jadi
untuk mengisi perut yang kelaparan
akan suguhan kenyataan yang mendebarkan
;saat ini nalar semakin mendekati binal
mengumumkan dirinya sebagai peradaban yang gagal
desa-desa ditinggalkan. Demi menyecap manisnya pengharapan. Di suatu tempat yang memproduksi harapan secara masal. Dibagi-bagikan gratis sebagai modal.
Sungai-sungai puisi
menadah buangan sampah di kota-kota yang gerah
hasil banjir keringat para penghuni yang gelisah
cemas terhadap berbagai kemungkinan
khawatir bagaimana cara kepulangan
tak mau mati lalu tak ditemukan
sebab di sini nisan-nisan
tak ubahnya bangkai bajaj yang bergeletakan
tak ada ritual ziarah
apalagi masuk dalam buku sejarah
habis dijarah masa berkabung
bagi sebagian besar orang yang tak beruntung
kota-kota yang didatangi sebagai titik pusat mimpi. Ternyata cuma didirikan di atas semangkuk mie dan secangkir kopi. Juga puisi-puisi yang hanyut. Tersangkut di sungai-sungai yang alirannya mati.
Bogor, 11 Januari 2019