Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Meramu Hujan Terakhir

6 Januari 2019   19:28 Diperbarui: 6 Januari 2019   20:00 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat yang tepat untuk meramu hujan terakhir senja ini ke dalam perjamuan makan malam. Kita duduk berhadapan. Saling melempar pandangan. Tanpa perbincangan.

Kita telah terlalu banyak berbincang. Kita juga sudah kehabisan bahan pertengkaran. Kita sepakat memutuskan diam. Menikmati hidangan hujan. Sembari merangkai kembali awan di mata. Besok akan kita lepaskan ke angkasa. Bersama-sama.

Kita sedang memasuki tahap sinis terhadap ratapan dan tangis. Bagimu tangis tak lebih dari ungkapan rasa yang ritmis. Bagiku tangis adalah gejala klinis bahwa kita sedang meresapi takdir secara filosofis. Mengarah tragis.

Kita juga sedang beranjak menyingkirkan onak dan ular beludak di kepala kita. Pikiran kita terluka. Berdarah-darah menuju nanah. Meruyak parah.

Apa tidak sebaiknya kita berdua menjadi saksi atas kelahiran purnama. Siapa tahu kita beruntung kejatuhan cahaya. Tepat di jiwa kita yang seolah merana. Padahal sesungguhnya kita hanya melangkah terbata-bata. Lupa arah kemana.

Bogor, 6 Januari 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun