Kematian ada dalam proyektor yang menayangkan kilas balik seluruh perjalanan. Bernuansa putih-hitam. Seperti film usang masa silam.
Bila sajak-sajak kemudian bermatian dan makam belum disiapkan. Buanglah di lautan. Menjadi santapan ikan-ikan.
Mereka kelaparan pada metafora bagaimana bumi diciptakan. Juga seperti apa warna biru itu dipantulkan. Di langit yang sedikit buram. Kehabisan persediaan warna terang.
Bila kebaikan ikut bermatian dan pusaranya nampak begitu sengsara tak terperhatikan. Biarkan. Kebaikan bukan cuma lahir dari sedikit banyaknya memberi makan orang-orang kelaparan.
Ia bisa tiba-tiba saja menjelma dan ada tanpa harus melalui rahim seorang ibu. Saat orang-orang saling menghibur ketika bumi mendadak murka dan membadaikan begitu banyak rasa pilu.
Kematian tidak cuma diproyeksikan sesederhana tubuh-tubuh rusak dimakan belatung. Tapi juga serumit jiwa-jiwa yang pasrah dilarung.
Di belahan dunia berikutnya yang kita tidak tahu itu apa. Kita hanya disarankan untuk membawa bekal secukupnya.
Jakarta, 4 Januari 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H