Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Fiksi, Dunia Lain yang Diciptakan karena Aspirasi atau Patah Hati?

2 Januari 2019   11:15 Diperbarui: 2 Januari 2019   13:48 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah judul yang disodorkan di pagi hari yang bisa dengan cepat membuat orang mengrenyitkan dahi. Biarlah, toh semua otak sudah direcharge dengan kekuatan battery berupa liburan panjang. Jadi sudah saatnya memang berbuat "rusuh" agar otak kembali tegak dan tidak mengalami keterlanjuran runtuh.

Dunia Nyata
Fiksi, terutama puisi, adalah dunia lain yang memang sengaja dibuat agar kita bisa melarikan diri dari kenyataan. Cara melarikan diri yang sesungguhnya tidak merusak. Meskipun terkadang juga sanggup mengobrak-abrik mata orang untuk terbelalak, lalu mengeluarkan pertanyaan berduri; ini apa sih maksudnya? Gila apa?

Kita memang hidup di dunia nyata. Jelas dan pasti. Dunia nyata yang seringkali menumbukkan tanda tanya besar di kepala kita. Dari segala sisinya. Interaksi sesama manusia, intervensi manusia terhadap alam, fraksinasi di lingkungan rumah dan dunia kerja, dan tentu saja yang paling utama adalah kala kita mencoba bersosialisasi dengan Pencipta.

Interaksi sesama manusia banyak digaduhi dengan persoalan psikologis bagaimana mengikuti tata cara untuk kemudian divalidasi sebagai kebenaran dan kekeliruan. Sekecil apapun melencengnya kita dari normatifitas yang ada, segera saja kita menjadi terdakwa.

Intervensi manusia terhadap alam harus diakui sangat mengerikan. Seandainya bumi ini bisa dijungkirbalikkan supaya semua benda berharga yang dibutuhkan manusia keluar dan jatuh berceceran, maka itu akan dilakukan. Tidak ada yang namanya keseimbangan. Instrumen yang disebut peradaban sebenarnya tidak bisa disebut beradab. Terlalu banyak pembenaran di dalam hukum adabnya. Bahwa semua demi kebutuhan dan kesejahteraan manusia.

Kemudian kita selalu dihadapkan pada banyaknya fraksi yang muncul di lingkungan rumah dan juga dunia kerja. Hal yang tak terhindarkan karena memang kadar kepentingan yang selalu tidak seragam. Selalu ada geng kecil atau kelompok besar yang kita jumpai. Kita harus masuk di salah satunya atau kita akan dianggap sebagai outsider yang mesti menyingkir jauh-jauh. Tidak mungkin juga kita mengasingkan diri di pulau terpencil dan hidup dengan cara kita sendiri. Itu antara gila atau sudah terlalu kaya raya.

Hubungan kita dengan Pencipta sama sekali tidak pernah baik-baik saja. Ada saja keliru yang disengaja atau salah yang memang direka. Semua atas nama survival. Padahal kitab-kitab dari agama apapun selalu mengatakan; Tuhan akan selalu memberikan jalan. Apa yang dirasa tidak tepat adalah ujian. Lalui atau lari atau mati. Pilihan paling mudah tentu saja lari. Lari dari peraturan Tuhan. Itu paling gampang dilaksanakan dan biasanya terasa nyaman.

Dunia Fiksi
Dengan kondisi dunia nyata yang sedemikian lebatnya dibandingkan hutan rimba manapun di semesta, maka akhirnya manusia menginisiasi banyak cara agar bisa terus hidup di dalamnya. Dunia fiksi adalah salah satunya.

Semenjak dahulu kala, tidak sedikit orang yang melarikan rasa frustasinya dengan memasuki labirin rumit ruang-ruang puisi, drama-drama di panggung theater, simbolisasi tari, tulisan-tulisan pendek maupun panjang yang meliarkan imajinasi dan tidak dibatasi oleh normatifitas tadi.

Banyak contoh yang bisa diberikan bagaimana dunia fiksi ternyata berpengaruh besar pada lajunya zaman. Pemberontakan pikiran dari Socrates, Plato, Leonardo Da Vinci dan pemikir-pemikir ulung di zamannya masing-masing, bermula dari tulisan yang semula dianggap fiksi.

Bagaimana juga Galileo Galilei menentang pendapat kebanyakan tentang bumi ini bulat dan bukan datar seperti pendapat yang sudah lebih dulu beredar dan disahkan oleh institusi yang ada. Tidak ada pengetahuan yang cukup kala itu untuk membenarkan pendapat fiksi Galileo Galilei. Toh pada akhirnya terbukti bahwa fiksi itu benar-benar terjadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun