Lampu-lampu mulai menyala di kepala. Mengirimkan sinyal listrik pada setiap urat syaraf yang tegang oleh ketidakmampuan bagaimana mencari cara mengenyahkan gulita.
Hujan yang cuma gerimis menyimpan aura magis di sore yang sedikit manis. Bukan oleh tumpahan gula. Tapi lebih banyak disebabkan ketakutan akan pahit yang mengintip di balik jendela. Setiap kali jendela itu terbuka.
Ketika udara yang tak bersih lagi menyerbu masuk tanpa aba-aba. Menyusup tiba-tiba di laring yang enggan bersuara.
Tidak ada lagi pembicaraan tentang kenangan yang hilang maupun pulang. Kenangan telah dipigura dengan sebaik-baiknya. Tatkala benak sudah selesai direnovasi. Dari gaung masa silam yang gagal beresonansi.
Cuaca hilir mudik dan berganti. Dari hujan yang mengihwalkan mimpi. Hingga kemarau nun jauh di sana yang sedang bersiap-siap melakukan migrasi.
Sementara lonceng di menara kegaduhan sudah berhenti. Memberikan tanda bagi kita untuk mulai akrab lagi dengan sunyi.
Itu semua tak terhindari.
Jakarta, 1 Januari 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H