Mungkin ini yang disebut belenggu. Separuh hidupku aku habiskan untuk menggerutu. Terhadap apa saja yang aku sebut sebagai kesialan. Juga kegagalan. Aku bahkan berani menyebut takdir sebagai jenis hukuman. Keputusan yang disampaikan tanpa boleh sedikitpun melakukan pembelaan.
Aku berjalan dengan tenang dan lepas. Tapi mataku sama sekali tidak awas. Beragam kotoran tak pantas terinjak sengaja. Lalu aku hamburkan di sawah seolah itu pupuk. Pupuk yang terkutuk.
Aku menyukai ilusi. Khayalan yang aku bentuk sebagus-bagusnya hingga mendekati nyata. Jaringan otakku sendiri aku tipu. Aku berkata baik-baik saja namun segenap setan aku biarkan berkeliaran di kepala.
Mungkin aku harus merendam hatiku dalam genangan cuka bertuba. Supaya aku merasakan asam dan bisa mengaliri darah, membuatku gelisah dan membangkitkan amarah. Terhadap ketidakpatuhanku pada waktu. Di saat sebetulnya aku harus berwudu.
Jakarta, 1 Januari 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H