Semestinya kau menyimak setiap puisi yang kubacakan, sebelum menyamak setiap baitnya menjadi hiasan di meja makan. Kita sedang sarapan butir-butir beras yang diilhami kerasnya kerja para petani. Kita harus menghabiskannya. Jika tidak, maka kita tidaklah sama sekali menghargai mereka.
Petani dan puisi punya satu nyawa. Sama-sama membangkitkan inspirasi secara sempurna.
Seharusnya kau menyimak irama hujan yang memainkan musik di halaman, sebelum kau menyamak setiap liriknya menjadi ratapan. Sebuah ratapan tentang rindu, itu sama sekali tidak perlu. Rindu bisa membuat jalan setapaknya sendiri. Tanpa mesti diratapi.
Hujan dan rindu punya satu pintu. Sama-sama mengiyakan bergentayangannya masa lalu.
Lebih baik bila kau menyimak apa yang dikatakan para begawan sastra yang menggila dengan gaya bahasanya, daripada menyamak setiap kegilaannya yang menjadikanmu lupa segalanya. Kau punya ingatan kuat tentang malam dan mimpi yang telah terlewati, tepat saat kau terjaga di pagi hari. Jadi untuk apa memahkotai lupa menjadi raja di hati.
Pagi dan mimpi punya satu keinginan. Sama-sama ingin menjaga baik-baik harapan.
Sekarang kau paham bukan? Menyimak kata lalu menyamak lupa, bukanlah sebuah pilihan.
Jakarta, 31 Desember 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H