Perempuan itu memandangi langit dengan tatapan mata kail terhadap ikan-ikan kelaparan. Di kolam bening yang baru saja diruntuhi hujan. Dia memasuki garis khayal yang disebut lingkaran ekliptika. Berupaya meramal nasibnya seperti apa.
Pada perihal cita, hidupnya dipenuhi dengan buku-buku yang terbuka, mulut yang menganga, dan mata-mata kecil yang terpana. Setiap harinya dia menderma senyuman sebagai bahan pelajaran. Bagaimana membentuk sudut pada mulut. Agar tercipta senyuman yang lepas dari luput.
Pada perihal cinta, hatinya diseduh kehangatan masa silam yang lupa dipadamkan. Tetap dipenuhi buku-buku, namun kali ini ditambah dengan batu-batu, juga berkelebatannya bayangan rindu. Di cermin yang mengaku sedari dulu menyembunyikan rasa pilu.
Perempuan itu melihat garis tangan dengan raut muka terpesona. Lingkaran ekliptika hadir di sana mencoba berkata-kata. Bahwa dia telah sampai di rumah yang pada pintunya tertulis nama. Seperti yang telah direncanakan. Bersama hujan yang jatuh di pelataran. Berterus terang.
Perempuan itu sangat percaya. Entah itu benar adanya. Atau kejahilan rasi bintang semata. Dia meletakkan senja di matanya. Sebagai tanda telah menemui harapan. Seperti yang dijanjikan.
Jakarta, 28 Desember 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H