Khayal demi khayal bersegera melompati logika. Kita yang sedang ternganga, dihadang sekawanan angka, kita mengelak dengan mencoba sekuatnya menata sedemikian rupa hidangan tak nyata, cinta.
Di atas kertas buram yang kita gambari wajah tersenyum, warna-warna tak lengkap kita cipratkan dengan semena-mena. Birunya langit, birunya laut, birunya gunung, juga birunya masa lalu. Rupanya kita sedikit sentimentil. Dan kita terjebak histeria. Kita adalah kekacauan berupa ledakan. Dalam pikiran yang lebih mirip peperangan.
Kemudian kita memasang hologram. Masing-masing dari angan-angan yang suram, hitam dan lebam. Ini salah satu cara menyamarkan ketidakberuntungan.
Suram karena kita kesulitan mendapatkan cahaya. Semua pijar telah diambil matahari, purnama, dan orang-orang suci. Kita hanya boleh meminta sedikit. Itupun kalau kita mampu menyingkirkan rasa sakit.
Hitam sebab malam. Kita hidup dalam kekuasaan malam. Begitu terjaga di pagi hari, kembali kita tertidur, menunggu malam. Tak perlu dijelaskan lagi, malam adalah kekasih yang kita selingkuhi. Dengan hati-hati.
Lebam dari memar yang bertubi-tubi. Kita menjatuhkan diri di sungai-sungai yang kering, laut yang kasar, tanah-tanah yang memunculkan duri. Kita enggan bangkit lagi. Merasa nyaman dengan begitu saja. Tak perlu berbuat apa-apa.
Kita sedang menuliskan sejarah. Di antara masa depan yang makin punah.
Bogor, 27 Desember 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H