Dewi Mulia Ratri berhenti sejenak sambil menajamkan pendengarannya. Ada suara aneh dari sebuah rumah di ujung kampung. Suara lirih tangis yang ditahan sekuat tenaga agar tidak terdengar. Dewi Mulia Ratri secepat mungkin berlari menuju rumah itu. Didorongnya pintu rumah yang tidak terkunci. Andika Sinatria mengikuti sambil berjaga jaga, waspada karena ditakutkan ini adalah jebakan.
Dewi Mulia Ratri muncul dari sebuah kamar sambil menggendong seorang bayi kecil yang berumur belum juga setahun, diikuti seorang perempuan setengah baya. Bayi perempuan kecil itu kurus kering seperti kekurangan makan. Namun wajah tak berdosa itu bersih dan cantik. Perempuan setengah baya yang terus mengikuti Dewi Mulia Ratri hingga keluar rumah juga kurus kering. Bahkan terbungkuk bungkuk. Sepertinya terlalu lama mengangkat beban berat di pundak dan punggungnya.
Andika Sinatria terpana melihat bayi kecil yang terus menangis tertahan namun terisak isak. Pemuda itu kemudian memperhatikan wajah Dewi Mulia Ratri yang terlihat sangat prihatin dan khawatir. Bahkan di kedua sudut mata yang bening itu mengembun.
Hmmm..dibalik ketangguhan dan kecantikannya yang garang, gadis ini berjiwa sangat lembut. Tidak salah jika namanya Dewi Mulia...Ahhh makin jatuh lebih dalam hati Andika Sinatria karenanya.
Dua pendekar ini mencoba bertanya apa yang terjadi di kampung ini kepada perempuan setengah baya yang masih nampak sangat ketakutan.
Awalnya perempuan tua itu hanya menggeleng gelengkan kepala menolak menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh Dewi Mulia Ratri maupun Andika Sinatria. Namun setelah dengan lembut Dewi Mulia Ratri meyakinkan bahwa mereka bukanlah orang yang bermaksud jahat, barulah perempuan tua itu bercerita panjang lebar.
Awalnya kampung kampung di sekitar pantai sukabumi yang pada umumnya serba kekurangan didatangi oleh sekelompok orang yang mengaku sebagai anak buah seorang sakti yang berniat untuk membuat makmur seluruh kampung dan desa. Mereka diminta untuk dengan sukarela menyatakan dukungan kepada tokoh yang sering disebut sebagai Panglima Kelelawar.
Dukungan itu diwujudkan dalam bentuk pengabdian tenaga. Para pemuda dan pemudi di kampung kampung itu dibawa ke markas perkumpulan dan dipekerjakan. Para pemuda yang cukup kuat dilatih ilmu kanuragan dan dijadikan anggota perkumpulan. Yang tidak cukup kuat dijadikan pelayan.
Demikian juga bagi para wanitanya. Yang cukup cantik dijadikan pengawal dan pelayan istana Sang Panglima Kelelawar. Sedangkan sisanya dijadikan tukang masak, tukang cuci dan pekerjaan dapur lainnya.
Mereka tidak diperbolehkan pulang kembali ke kampung. Meskipun banyak di antaranya yang mempunyai anak dan keluarga. Pernah suatu ketika ada yang nekat pulang karena sangat merindukan anaknya. Akibatnya, wanita itu beserta bayinya hilang lenyap tak berbekas dari kampung tempatnya tinggal, dan juga tidak dijumpai lagi di markas perkumpulan. Banyak desas desus yang mengatakan bahwa wanita dan anaknya itu dijadikan tumbal untuk penguasa laut selatan.
Sejak itu, tidak ada satupun yang berani melakukan pembangkangan lagi. Itulah sebabnya hampir di semua kampung yang ada, yang tersisa hanyalah orang tua dan anak anak saja. Orang orang dewasa semuanya ada di markas perkumpulan untuk dipekerjakan.