Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tetralogi Air & Api, Petualangan Cinta Air dan Api

25 Desember 2018   12:30 Diperbarui: 25 Desember 2018   12:56 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dan sampailah mereka di sebuah lembah berpadang rumput yang cukup luas.  Bahkan terdengar suara gemuruh air terjun kecil yang tidak terlalu jauh letaknya.  Tempat yang sangat tepat untuk membangun perkemahan.

Para pengawal segera melakukan tugasnya membangun kemah kemah.  Sedangkan para pelayan mengisi kantong kantong air minum serta mempersiapkan makan malam.  Dewi Mulia Ratri dan Andika Sinatria turun dari kudanya.  Membersihkan diri di sungai air terjun.  Lalu kembali ke perkemahan yang sudah berdiri kokoh dan rapi. 

Andika Sinatria memutuskan mereka berhenti berkemah di tempat ini beberapa hari.  Selanjutnya dia dan Dewi Mulia Ratri akan pergi pulang setiap hari dari perkemahan ini untuk menyelidiki.  Terlalu mencolok jika harus membawa rombongan untuk menyelidiki.  Selain itu perjalanan akan menjadi lambat.  Mereka berdua akan bisa pergi pulang dengan cepat dari tempat ini dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh.  Bahkan meski itu jauh hingga ke pesisir pantai Sukabumi.

Malam itu berlalu tanpa ada lalang yang berarti.  Hanya suara siamang bersahutan yang berusaha mengganggu keheningan saja yang terdengar.  Pagi pagi buta setelah membersihkan diri, tanpa menunggu makan pagi, Dewi Mulia Ratri mengajak Andika Sinatria memulai penyelidikannya ke arah pantai selatan.  

Andika Sinatria yang juga sudah mandi dan menunggu makanan siap, mengeluh dalam hati.  Namun tetap saja kakinya melangkah pergi mengikuti Dewi Mulia Ratri.

Agar pagi yang sangat dingin menjadi sedikit lebih hangat, Dewi Mulia Ratri mengajak Andika Sinatria berlomba lari hingga pesisir pantai selatan. Dari sanalah mereka akan memulai penyelidikan dengan menyisir pantai.  Andika Sinatria lagi lagi tidak sanggup menolak.  Dua tubuh pemuda pemudi yang terlihat sangat serasi itu kemudian berkelebatan cepat menembus lebatnya hutan. 

Dewi Mulia Ratri yang penasaran dengan kemampuan meringankan tubuh Andika Sinatria, mengerahkan semua kemampuan larinya.  Jika dibandingkan, kemampuan olah kanuragan dua orang ini cukup seimbang.  Kelebihan dari Dewi Mulia Ratri adalah kemampuan sihirnya yang luar biasa.  Kekuatan sihir tidak berpengaruh terhadap ilmu meringankan tubuh.  Oleh karena itu, lomba lari berlangsung dengan seimbang.  Kelebatan dua sosok lihai itu seperti bayangan hantu yang menyelusup di antara kerapatan pohon pohon.  Siapapun orang awam yang melihat peristiwa ini pastilah akan merasa ngeri. 

Dalam beberapa jeda kemudian, dua orang ini terlihat beradu cepat ke bibir pantai yang sudah terlihat dari jauh.  Bayangan putih dan biru saling susul. Dewi Mulia Ratri tiba terlebih dahulu.  Wajahnya yang cantik memerah seperti tomat masak.  Beberapa butir keringat menetes dari keningnya.  Aura kecantikannya semakin memancar.  

Sedangkan Andika Sinatria meskipun tiba belakangan namun kelelahan tidak terlalu nampak di wajahnya.  Dari sini terlihat bahwa sebetulnya Andika Sinatria masih sedikit lebih tinggi ilmu meringankan tubuhnya.  Hanya saja pemuda ini tidak tega dan akhirnya mengalah pada detik detik terakhir adu cepat. 

Hal ini bukannya tidak diketahui oleh Dewi Mulia Ratri.  Nampak wajah gadis ini cemberut.  Dia tidak suka dirinya dikasihani.  Selain itu dia penasaran kenapa dia bisa kalah adu lari dengan pangeran ini.  Tanpa berkata kata, gadis ini berjalan menyusuri pantai memulai penyelidikan.

Andika Sinatria maklum bahwa gadis cantik itu marah.  Karena itu, dia hanya diam saja sambil berjalan mengikuti kemana gadis itu pergi.  Mereka sampai di sebuah kampung kecil di pinggir pantai.  Kampung itu terlihat sepi.  Tidak ada manusia yang berkeliaran atau duduk duduk di luar rumah. Bahkan anjing atau kucing pun tidak nampak seekorpun.  Benar benar sepi.  Seperti kampung mati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun