Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tetralogi Air & Api, Petualangan Cinta Air dan Api

25 Desember 2018   12:30 Diperbarui: 25 Desember 2018   12:56 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namun pemuda itu sudah bersikap biasa lagi, bahkan asyik bermain main dengan Sima Lodra.  Tanpa memperdulikan dia lagi.  Saat itu, perasaan hangat yang menjalar di hati Dewi Mulia Ratri berubah seketika menjadi setitik kemarahan.  Keinginannya untuk mencium pipi pemuda itu berubah seketika menjadi keinginan menampar pipi!

Aaahhh...kenapa dia kembali memikirkan pemuda bodoh itu?  Sekarang dia sedang bersama orang paling tampan se-Galuh Pakuan, makan bersama dengan posisi duduk begitu mesra.  Gadis gadis se-kerajaan pasti akan sangat iri hati kepadanya jika melihat kejadian sarapan ini.  

Dewi Mulia Ratri mencoba menikmati sarapannya dengan berpura pura terlihat bangga dan bahagia.  Dia tidak ingin menyakiti pangeran tampan yang sudah berusaha dengan susah payah melayaninya.  

Hah? Susah payah?! Para pelayannya lah yang bersusah payah!  Bukan dia.  Dewi Mulia Ratri menampik pikirannya sendiri dengan cepat.  Ini menghilangkan senyum manis yang dia tampilkan sedari tadi.  Dilihatnya para pelayan masih bersimpuh agak jauh dari mereka berdua, menunggu perintah ini itu lagi.

Gadis itu melambai kepada salah satu pelayan kurus yang masih muda.  Dengan tergopoh gopoh pelayan itu mendatangi sambil menunduk.  Siap menanti perintah.

"Kalian kulihat sibuk sedari pagi.  Aku yakin kalian pasti belum sempat sarapan.  Ini ambillah.  Bagi bagilah dengan teman temanmu yang terlihat sekali kelaparan itu..."  Dewi Mulia Ratri mengambil beberapa piring besar dan menyisihkan potongan besar daging rusa, ayam, dan ubi panas yang sangat lezat.  

Dia memberi isyarat kepada pelayan itu agar segera pergi membawa piring piring penuh makanan itu.  Tentu saja yang disuruh menjadi pucat ketakutan.  Pelayan muda itu bersimpuh sambil mundur mundur.  Tidak berani melihat kepada Andika Sinatria dan sekarang melirik ngeri kepada kepala pengawal sang pangeran yang sering dipanggil dengan nama julukan si Tangan Baja.  

Kepala pengawal itu memang memelototi si pelayan agar tidak menuruti perintah Dewi Mulia Ratri.  Lumrah sebenarnya, karena sejak jaman kerajaan dahulu kala, siapapun belum boleh makan sebelum keluarga kerajaan selesai makan jika dalam suatu perjalanan.  Ini adalah aturan umum kerajaan. 

Dewi Mulia Ratri memandang tidak senang kepada si Tangan Baja.  Keluar lagi pikiran jahilnya.  Dia mengambil sepotong paha besar ayam dan disodorkannya kepada si Tangan Baja sambil berkata halus,"Paha ayam ini terlalu keras pengawal.  Cobalah makan, agar lain kali cara memasak para koki harus diperbaiki.."

Giliran si Tangan Baja yang memucat sekarang.  Laki laki kekar dan tinggi besar ini membungkukkan tubuhnya, memberi isyarat menolak.  Dewi Mulia Ratri sudah menduganya.  Dia menoleh kepada Andika Sinatria di sebelahnya yang sejak dimulainya peristiwa ini terbengong bengong saja.

"Pangeran, orang orangmu sama sekali tidak memandang sebelah mata kepadaku.  Mereka memang pengawal dan pelayanmu, namun apakah perintah kepala pengawal Kujang Emas Garuda bukan merupakan perintah?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun